Oleh : Risal Mujur, S.Ip
INPUTRAKYAT,–Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga khusus yang menyelenggarakan Pemilu, yang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, berkomitmen dan berpedoman pada azas mandiri, jujur, adil, tertib, terbuka, profesional, efisien dan efektif.
Sementra Pemilihan Umum (Pemilu) bagi Negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Merupakan sarana untuk mewujudkan Negara demorkrasi. Demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani. Demos artinya rakyat dan kratos artinya pemerintahan. Jika demikian maka, demokrasi merupakan pemerintahan rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.
Pemilu menjadi tonggak tegaknya demokrasi, di mana rakyat secara langsung terlibat aktif dalam menentukan arah dan kebijakan politik negara untuk satu periode pemerintahan ke depan selama 5 tahun.
Dalam kajian ilmu komunikasi khususnya komunikasi politik, individu, kelompok ataupun lembaga, yang menyampaikan pesan-pesan politik. Maka, seketika itu ia merupakan komunikator politik. Terlepas ia menyampaikan pesan politiknya berbentuk lisan, tulisan, bahasa tubuh, ataupun tindakan dan lain-lain. Baik itu melalui perantara media maupun secara langsung.
Cangara (2016 : 31) mengatakan komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya Presiden, Menteri, anggota DPR, MPR, KPU, Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD, Politisi, Fungsionaris partai politik dan sejenisnya yang bisa mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Dalam hal ini, KPU sebagai penyelengaara Pemilu. Ketika menyelenggarakan pemilu otomatis tidak terlepas dari penyampaian pesan-pesan kepada khalayak (masyarakat) yang terkait dengan pelaksanaan pemilu. Mulai dari menyampaikan waktu pelaksanaan, aturan-aturan pemilu, hingga mengumumkan calon yang akan mengikuti pemilu dan mengumumkan siapa yang memenangkan pertarungan politik dalam pemilu tersebut.
Hal tersebut dilakukan oleh KPU Sebagai Komunikator Penyelenggara Pemilu. Agar masyarakat, partai politik, dan calon peserta yang ingin ikut bertarung dalam pemilu mengetahui dan memahami terkait dengan penyelenggaraan pemilu yang akan dan telah dilaksanakan.
Dengan demikian dari paparan diatas, maka dapat kita simpulkan sukses tidaknya penyelenggaraan pemilu itu tergantung dari KPU itu sendiri. Namun meskipun demikian terkadang juga KPU suda semaksimal mungkin telah melakukan upaya-upaya agar pemilihan umum terselenggara dengan baik, akan tetapi karena masyarakat, partai politik, dan peserta pemilu (Parpol dan Kandidat) apatis terhadap penyelenggaraan pemilu, mereka masa bodoh dan tidak mau tau dengan pemilu. Sehingga pelaksaaan pemilu tersebut terlaksana tidak maksimal. Atau bisa dikatakan mereka tidak ikut serta berpartisipasi dalam menyukseskan pemilu tersebut.
Dengan demikian, untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilu dibutuhkan kerjasama antara KPU sebagai penyelenggara, partai politik, peserta pemilu, dan masyarakat.
Dwi Haryono (2016 : 206) mengatakan Partisipasi politik masyarakat dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu/pilkada).
Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu.
KPU selain menyelengarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), KPU juga menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sehingga dibentuklah Komisi Pemiliahan Umum Daerah (KPUD).
KPUD sebagai penyelenggara Pilkada disetiap daerahnya masing-masing. Seperti pemilhan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 112-124) Pemilihan kepala daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Wali Kota secara langsung merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar dalam memilih pemimpin di daerah.
Dengan demikian, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, dan rahasia tanpa adanya intervensi. Sama halnya mereka memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu.
Editor: Zhakral.